Catatan Akhir Tahun Pelajaran
Hingga detik ini tidak pernah ada kecurangan dalam pelaksanaan UASBN yang pernah diselesaikan secara hukum. Bahkan kasus-kasus yang sudah ter-blow up media saja tidak jelas kelanjutannya. Lagi pula, tak seorangpun perlu "mencari masalah" dengan repot-repot mengkasuskan masalah "kecil" ini. Mempermasalahkan hal-hal semacam ini sama halnya dengan kulak molo (mencari masalah) bahkan bunuh diri, apalagi bila yang mempersoalkan kalangan guru atau pengelola sekolah.
Keberanian sekolah dan guru melepas siswa-siswinya menempuh UASBN secara jujur, tanpa intervensi (diajari) guru, selalu menjadi pilihan dilematis di tengah maraknya praktik kecurangan dalam pelaksanaan UASBN pada jenjang sekolah dasar di daerah kami. Sebagaimana tempat lain di negeri ini, kecurangan dalam pelaksanaan UASBN bukan rahasia lagi, sudah menjadi "hal biasa", bahkan boleh dibilang menjadi keharusan. Ironis!
Hingga detik ini tidak pernah ada kecurangan dalam pelaksanaan UASBN yang pernah diselesaikan secara hukum. Bahkan kasus-kasus yang sudah ter-blow up media saja tidak jelas kelanjutannya. Lagi pula, tak seorangpun perlu "mencari masalah" dengan repot-repot mengkasuskan masalah "kecil" ini. Mempermasalahkan hal-hal semacam ini sama halnya dengan kulak molo (mencari masalah) bahkan bunuh diri, apalagi bila yang mempersoalkan kalangan guru atau pengelola sekolah.
Padahal kecurangan dalam UASBN sama maraknya dengan aksi sogok-menyogok (gratifikasi) dalam penerimaan pegawai negeri sipil di daerah ini yang bahkan dilakukan terang-terangan, dijual dan ditawarkan seperti kacang goreng. Meski begitu tak seorangpun mau menjadi pahlawan kesiangan, pejuang konyol, yang rela mengorbankan diri melawan arus kebusukan. Hanya hati nurani masing-masing yang memungkinkan seseorang memilih menjadi bagian dari tragedi moral ini atau memilih bertahan dalam kejujuran, sambil tetap diam dan membiarkan kejahatan moral itu berlalu begitu saja.
Sedikit orang yang masih memiliki hati nurani hanya bisa diam sambil mengelus dada membiarkan perilaku jahat terjadi di depan mata. Bagi sekolah yang tidak mengikuti jalan busuk itu, harus rela menahan hati berdebar-debar menantikan hasil UASBN siswa-siswinya yang penuh misteri, karena tidak jelas bagaimana proses koreksi hingga penilaian di tingkat dinas.
Jerih payah guru akan terasa terbayar bilamana perolehan nilai hasil UASBN siswa-siswinya tidak mengecewakan. Mereka juga pasti paham, perolehan nilai UASBN siswa-siswinya tidak akan pernah sebaik sekolah lain, sebab selain beberapa sekolah, nyaris tidak ada UASBN jujur di daerah ini.
Sebaliknya, bila hasil UASBN di bawah harapan, mereka harus siap menerima vonis hukuman sosial, berupa penilaian minor dari masyarakat yang memburamkan wajah sekolah. Bagaimanapun masyarakat lebih menghargai nilai tinggi, sekalipun diperoleh dengan kecurangan dibandingkan kejujuran.
Mempertahankan kejujuran terasa kian berat dan semakin berat, mengingat harga kejujuran begitu murah di hadapan masyarakat. Ibarat barang dagangan, kejujuran kian tak laku dijual, sebab hanya sedikit orang yang masih membutuhkannya, teramat sedikit manusia yang bisa menghargainya.
Sedikit yang dapat diharapkan dari kejujuran hanyalah dari sisi pertimbangan managemen sekolah. Seberapapun tingkat keberhasilan siswa, merupakan parameter berharga mengenai seberapa besar kualitas proses pengelolaan pembelajaran selama ini. Dari sanalah berbagai hal yang perlu dibenahi di sekolah dapat dikembangkan lebih lanjut.
Semoga saja masih ada sebagian masyarakat yang tetap menjunjung tinggi pilar moralitas yang kian redup dan rapuh ini agar tidak terlalu cepat terkikis habis. Merekalah sebagian kecil manusia yang membuka harapan bahwa suatu saat kejujuran akan kembali dihargai. Harapan ini serasa begitu utopis, serasa mimpi di siang bolong di negeri yang carut-marut ini, tetapi inilah satu-satunya jalan, sebelum kejujuran benar-benar tersisa sebagai tinggal cerita lama.
0 komentar:
Posting Komentar