Pak Nas, begitu beliau biasa dipanggil. Aku baru ingat kembali namanya saat hendak mengurus ujian akhir. Terus terang aku tak begitu ingat namanya, apalagi tanpangnya, meski sebelumnya dia pernah menjadi pengujiku di ujian pendahuluan. Selain tak ada yang istimewa, saat ujian tidak ada pertanyaan atau saran menonjol yang layak kucatat. Yang paling kuingat darinya bahkan hanya saran "konyol" agar aku menyajikan ayat-ayat suci dalam laporan penelitianku.
Aku tak begitu menanggapi ketika beberapa kawan-kawanku menyebut dia dosen yang sulit dan pelit nilai. Selain tak terlalu merisaukan soal nilai lagi, yang paling aku pikirkan justeru bagaimana menghadapi SU, dosen pembimbing yang sudah terbukti dan teruji sekian lama sebagai menghambat utama studiku.
Sebelumnya aku tak memperhitungkan pak Nas akan menjadi persoalan tersendiri, apalagi dia orang yang baru kukenal dan dari almamaterku sendiri. Rupanya dugaanku meleset, bahkan sangat jauh. Beberapa minggu sejak pulang dari Jakarta aku disibukkan dengan mencari cara bertemu pengujiku, pak Nas dan pak Agus. Aku tak berhasil kontak dengan mereka, sebab telepon tak diangkat, dan SMS juga tak dijawab. Beberapa minggu aku hanya menunggu di sana-sini berdasarkan jadwal mengajarnya, dan gagal tak sekalipun bertemu.
Berkat informasi seorang teman, bertemu dengan pak Agus tak banyak masalah. Meski dalam kondisi sakit parah, orang itu masih bergitu antusias dengan kedatanganku. Dia banyak memberi motivasi meski belum juga memberikan koreksi hingga akhir hayatnya.
Berkat bantuan sahabat, akhirnya aku tahu jadwal yang pasti pak Nas ke kampus, dan dua minggu berikutnya aku berhasil menghadap. Aku merasa lega saat dia bilang, "Baik, saya baca dulu. Itu baru namanya kerja" Aku tak menyoal sikapnya yang dingin tanpa ekspresi, karena sudah aku tahu sebagian dosen tua di kampusku memang suka berlagak seperti itu.
Minggu berikutnya aku menghadap, dan jawabannya "Belum selesai dibaca". Aku terkejut saat dia menyoal masa perbaikanku yang begitu panjang. Seketika itu aku minta surat keterangan dari kampus untuk memastikan statusku sebagai mahasiswa aktif.
Karena alasan belum selesainya koreksi karena banyaknya bimbingan, aku menghadap menjadi dua minggu. Aku berharap itu waktu yang cukup untuk koreksi, tetapi saat kembali bertemu, pak Nas menjawab dengan nada yang kurang enak, "Belum selesai! Bimbingan saya kan banyak". Tak enak dengan sikapnya yang seakan aku tekan, aku mencoba mengulur waktu menghadap menjadi empat minggu. Setelah kembali bertemu, bukan hasil koreksian yang kudapatkan, tetapi cecaran pertanyaan, "Saudara kan harusnya ujian pendahuluan lagi? Apa dasarnya saudara mau ujian akhir? Carikan surat itu agar status saudara halal"
Lemas batinku mendengarnya, tetapi untungnya aku sudah biasa menghadapi hal serupa dengan dosen pembimbingku selama beberapa tahun ini. Aku langsung ke kampus minta surat yang dia pertanyakan. Empat minggu aku mengurus surat yang dia minta, tetapi belum juga kelar, dan baru beberapa hari lalu aku dapat kepastian kalau surat yang beliau minta sudah dikirim ke pak Nas.
Kini aku bersiap kembali menghadap, meski dengan perasaan yang terus terang sangat pesimistis. Aku tak berniat konsultasi, tetapi sekedar mencari kejelasan sikap pak Nas selanjutnya. Meski begitu aku tak mau menyebut pak Nas orang sulit seperti dikatakan banyak temanku. Dia hanya guru yang tak seperti lazimnya saja yang mempunyai cara sendiri dalam menyelesaikan persoalan.
0 komentar:
Posting Komentar