• Euforia Menyambut Bulan Puasa ( Ramadhan )

    Marhaban Ya Ramadhan, Marhaban Ya Syahr ash-Shiam, Seluruh umat Islam merasa gembira dengan kehadiran Ramadhan; bulan puasa; bulan yang meletupkan euforia bagi umat meski hanya sekejap. Mesjid kembali terisi penuh dengan ritual tarawih, sms ucapan selamat Ramadhan ber-sliweran. Para ustadz juga sibuk dengan beragam agenda ceramah; mulai dari kuliah subuh, kultum berbuka puasa, hingga menjadi imam tarawih dan memimpin itikaf. Mereka menyambut umat yang selama Ramadhan menjadi luar biasa dahaga dengan tawjih dan taushiyah para ustadz.

    Para pedagang, pemilik mal dan hampir semua pengusaha juga bergairah dengan kehadiran Ramadhan; seolah menyambut janji Nabi saw. bahwa Ramadhan adalah ‘bulan yang ditambahkan rezeki’ oleh Allah. Para pengusaha sudah hapal, pada bulan Ramadhan pengeluaran rumah tangga masyarakat juga meningkat. Berapapun harga barang ditawarkan, akan dibeli. Itu berarti tambahan keuntungan bagi mereka.

    Pemerintah juga belagak sigap menyambut Ramadhan; menyerukan penutupan tempat-tempat hiburan, merazia dan memusnahkan miras serta narkoba. Tidak lupa mereka beranjangsana kepada para alim ulama serta melakukan tarawih keliling atau buka bersama masyarakat; seolah menunjukkan bahwa mereka juga gemar beribadah dan bisa dekat dengan masyarakat kecil serta para santri.

    Pada penghujung Ramadhan, menjelang Idul Fitri, umat pun bersemangat untuk pulang kampung. Mudik. Itulah ritual tahunan umat Islam, khususnya di Tanah Air; bertemu orangtua, sanak-saudara, bermaaf-maafan. Kadang ada tetesan air mata meski lebih sering tertutup dengan berlimpah-ruahnya hidangan dan gemerlap pakaian baru saat itu.

    Ramadhan memang seperti keajaiban. Ia bisa mengubah suasana sekular yang carut-marut menjadi atmosfer keimanan. Sayang, keindahan ini serba sesaat.

    Umat Islam memang masih berkubang di dasar jurang sekularisme. Di dalamnya agama tidak dibunuh, tetapi hanya menjadi asesoris kehidupan, bukan pijakan. Sebagai asesoris, agama dapat disandingkan dengan apa saja, siapa saja dan kapan saja. Berislam nyaris menjadi artifisial dan profan, penuh kepura-puraan dan kepalsuan. Bahkan agama pun dapat dikomersilkan seperti aneka tayangan di bulan Ramadhan.

    Selama Ramadhan, pemilik stasiun televisi merasa sah saja menyandingkan keilmuan ustadz dengan keliaran para selebritis dalam aneka acara selama Ramadhan. Selebritisnya tidak merasa malu. Para ustadznya pun tidak merasa luntur kadar ‘iffah dan muru’ah-nya. Sebagian ustadz berdalih bahwa berdakwah adalah untuk siapa saja dan di mana saja. Yang terjadi, para ustadz sudah menjadi tontonan ketimbang tuntunan bagi umat; menjadi bagian dari entertainment komersial dalam sebuah industri pertelevisian yang kapitalistik.

    Demi keuntungan pula, para pemilik stasiun televisi memunculkan para seleb bahkan banci yang kesehariannya jauh dari kesalihan sebagai ikon acara Ramadhan. Inikah bentuk ta’zhim (memuliakan) bulan agung dan penuh barakah itu? Semua semata demi mereguk keuntungan sebesar-besarnya di bulan Ramadhan. Nabi saw. bersabda:

    ÙƒَÙ…ْ Ù…ِÙ†ْ صَائِÙ…ٍ Ù„َÙŠْسَ Ù„َÙ‡ُ Ù…ِÙ†ْ صِÙŠَامِÙ‡ِ Ø¥ِلاَّ الْجُوعُ

    Berapa banyak orang berpuasa tetapi tidak mendapatkan apa-apa selain lapar belaka (HR Ahmad).


    Sabda Rasulullah saw. adalah benar. Banyak orang menempatkan Ramadlan hanya sebagai kegiatan ibadah yang terpisah dari kehidupan. Nafsu makan dan minum mungkin dikekang, tetapi berbagai larangan Allah SWT mungkin pula tetap dijalankan. Ada sebagian orang yang tetap merasa malu makan atau minum di siang hari selama Ramadhan. Mereka berusaha istiqamah menahan lapar dan dahaga hingga waktu berbuka. Namun, kaum prianya tidak menahan diri dari memandang aurat wanita, dan wanitanya juga tidak menahan diri dengan menutup aurat mereka menggunakan busana Muslimah. Padahal bukankah tujuan puasa adalah untuk mendapatkan gelar muttaqqin?

    Perbuatan mesum juga tetap terjadi selama Ramadhan. Banyak pasangan yang belum menikah tetap mendekati perbuatan zina, semisal ber-khalwat bahkan berpelukan di muka umum. Seolah menjadi kelaziman di kalangan muda-mudi, selama Ramadhan, muncul aktivitas ‘asmara subuh’ atau berbuka puasa bersama. Bukankah puasa juga seharusnya mengendalikan syahwat dari perkara yang haram?

    Di mimbar-mimbar taklim pada bulan Ramadlan sering disampaikan bahwa rasa lapar dan haus yang dirasakan mereka yang berpuasa adalah sebagai bentuk kesetiakawanan sosial; turut merasakan derita si papa yang rutin kelaparan berhari-hari. Lagi-lagi, semua seruan itu tidak sanggup menghentikan mental konsumtif dan hedonis umat pada hari ini. Si lemah tetap kelaparan dan telanjang pada bulan Ramadhan. Si kaya yang telah terasuki hedonisme tetap bergaya hidup boros. Makanan berlimpah-ruah di rumah-rumah mereka dan foodcourt di berbagai mal tetap ramai meski menawarkan menu dengan tarif yang aduhai, yang mungkin cukup untuk makan si fakir selama 2-3 hari.

    Saat hari-hari menjelang lebaran tiba kembali mal dan pasar-pasar dibanjiri pengunjung. Alih-alih mengencangkan ikat pinggang, menjauhi keluarga dan beritikaf layaknya Nabi saw., umat lebih konsentrasi memburu tiket mudik, pakaian untuk berlebaran dan asesoris rumah tangga. Lalu dimanakah keteladanan Nabi saw. yang rajin dikumandangkan di majelis-majelis zikir dan oleh orang-orang yang mengaku mahabbah kepada Nabinya?

    Yang menggelikan, saat lebaran tiba, justru kawasan wisata juga ramai diserbu warga. Pantai, tempat hiburan hingga kebun binatang didatangi warga. Duhai, tidak ada lagikah sanak-saudara atau tetangga yang layak untuk dikunjungi dan dimintai maafnya sehingga orang merasa lebih baik mengunjungi aneka satwa di kebun binatang?

    Sampai kapan Ramadhan hanya di jadikan euforia sesaat bagi umat? Bukankah akan lebih baik menjadikan Ramadhan ini sebagai bulan tarbiyah, dimana kita semua bersungguh-sungguh untuk melatih atau mendidik diri kita menjadi pribadi-pribadi muttaqin dimana pun, kapan pun, dan kondisi bagaimana pun, sampai kita menemui Alloh SWT.




  • 0 komentar:

    Posting Komentar